Sepanjang jalan dari muara akan melintasi sungai besar berkelok-kelok seperti ular raksasa memang membosankan karena di kiri-kanan hanya terlihat hutan bakau. Sekali-sekali apabila beruntung maka akan bersua dengan bekantan (monyet hidung panjang), jenis primata langka yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya, atau ular hutan bakau berwarna kuning merah menanti santap siangnya, burung Raja Udang.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam maka, kiri-kanan sungai ekosistem hutan bakau akan berubah menjadi hutan hujan tropis dataran rendah dengan aneka pohon keras yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena dijadikan bahan bangunan, seperti bangkirai, meranti, kapur, tengkawang dan ulin (kayu besi). Sayangnya, kayu-kayu itu karena memiliki nilai ekonomis tinggi kini kian jarang terlihat tumbuh di pinggir sungai kecuali anakannya. Setelah sampai di kota tertua di Bulungan, Tanjung Selor dan Tanjung Palas maka butuh sekitar tiga jam lagi untuk mencapai kawasan arum jeram.
Dari Kota Tanjung Selor, maka sebaiknya wisatawan menggunakan long boat untuk mencapai salah satu kota di kawasan pedalaman, yakni Kecamatan Long Peso. Menyelusuri Sungai Kayan dari Tanjung Selor ke Long Peso, maka akan terasa bahwa kawasan hulu sungai terus mendaki karena arus yang cukup kuat serta mulai terlihat bongkahan batu dari dalam air.
Sebelum mencapai Long Peso, maka kita akan melintasi salah satu kawasan cagar budaya yang sangat erat kaitannya dengan sejarah sehingga lahirnya kata "Bulungan" dan keturunan (juriat) atau silsilah raja-raja atau sultan yang pernah memimpin "Tanah Bulu Tengon". Di sekitar hilir sungai Long Peso, yakni Long Pelban, terdapat sebuah kawasan indah karena terdapat pulau dan bukit kecil di tengah sungai. Di kawasan itu, terdapat dua patung batu yang dipercaya sebagai makam "Lahaibara" dan suaminya, Wan Paren.
Lahaibara adalah salah seorang pemimpin atau ratu dari Dayak Kayan puak Uma Afan yang melahirkan Simun Luwan dan Asung Luwan. Dari perjalanan sejarah yang panjang akibat serangan suku bar-bar dari dataran tinggi Serawak, maka Puteri Asung Luwan hanya bersedia menerima lamaran Datu Lancang (pengeran dari Kesultanan Brunei) untuk mengusir musuhnya dari Serawak itu.
Dari perkawinan antara Puteri Asung Luwan dan Datu Lancang itu yang diikuti oleh para pengikutnya, maka melahirkan suku baru, yakni Bulungan. Patung batu yang menjadi kuburan kuno, Lahaibara dan Wan Paren itu sangat dihormati baik warga Bulungan, maupun Dayak Kayan karena.
Wisata Budaya
Memasuki kawasan Sungai Kayan di kawasan hulu sungai Long Peso, maka tantangan sebenarnya akan terasa karena memasuki kawasan sangat berbahaya sepanjang dua kilometer dan lebar 50 meter yang oleh penduduk setempat menyebutnya sebagai "Jeram Embun". Arus deras yang bergulung-gulung akan siap menelan benda apa saja sehingga butuh peralatan khusus dan kemampuan tinggi untuk menyelusurinya. Arus deras itu tercatat dengan grade 1/2 atau tingkat kesulitan di atas rata-rata.
Bahkan, ada beberapa bagian yang tidak bisa dilayari karena terlalu juram dan tinggi sehingga air jatuh menimbulkan suara bergemuruh serta melontarkan percikan air seperti embun. Mungkin ini menjadi alasan mengapa warga setempat menyebutnya sebagai Jeram Embun.
Air mengalir deras menghamtam bongkan batu raksasa sebesar gajah yang mencuat di permukaan Sungai. Sungai yang memiliki jeram berbahaya itu melingkar-lingkar di antara tembok batu padas setinggi sekitar 50 meter. Dinding batu padas di sisi kiri-kanan Sungai Kayan di kawasan pedalaman itu seperti pintu gerbang menuju dunia entah berantah di kawasan tinggi "Heart of Borneo".
Kawasan pedalaman Kaltim ditetapkan sebagai bagian dari "Heart of Borneo" sehingga hampir sebagian besar hutan di daerah itu masuk dalam kawasan konservasi, termasuk Taman Nasional Kayan Mentarang (1,2 juta Ha). Warda Dayak di kawasan pedalaman yang terkenal "nekad" (berani) menyelusuri kawasan itu menggunakan perahu panjang bermotor (biasanya dengan kapasitas 40 PK/tenaga kuda) terpaksa harus beramai-ramai menggotong perahunya menyelusuri tepian Sungai Kayan.
Setelah menikmati wisata petualangan yang mendebarkan, maka wisatawan sekaligus bisa menikmati wisata budaya karena saat melintasi pedalaman Sungai Kayan akan melewati sekitar 20 desa Dayak dengan sub-etnis atau puak yang berbeda, baik budaya maupun bahasanya, antara lain Dayak Kayan, Dayak Kenyah dan Dayak Punan.
Kawasan hulu Sungai Kayan yang berakhir di Taman Nasional Kayan Mentarang. Pada kawasan hulu Sungai Kayan dengan ekosistem hutan tropis dataran tinggi ini, wisatawan juga akan bisa melihat berbagai flora dan fauna langka. Di kawasan itu akan terlihat kayu ulin raksasa berusia ratusan tahun, taman anggrek serta berbagai jenis satwa langka antara lain, banteng liar, Rusa Sambar, Gajah Kalimantan dan berbagai jenis primata dilindungi.
Di kawasan pedalaman itu juga tercatat ada 20 lokasi yang menyimpan benda-benda purbakala, yakni peti mati batu. Sayangnya, sampai kini belum ada penelitian arkeologis mendalam mengenai keberadaan peti mati batu itu, mengingat budaya Dayak saat ini lebih akrab dengan mengukir kayu bukan batu. Bertualang di kawasan pedalaman Sungai Kayan akan melelahkan dan membutuhkan biaya tidak sedikit, namun tidak sekedar uji keberanian karena daerah itu juga memiliki potensi wisata alam, budaya dan sejarah. (ANT)
Sumber: http://kulinerkita.multiply.com/reviews/item/340
Berkaitan dengan SUNGAI KAYAN DI KABUPATEN BULUNGAN:
Kamu lagi baca Artikel
SUNGAI KAYAN DI KABUPATEN BULUNGAN %20 dan Kamu bisa menemukan postingan SUNGAI KAYAN DI KABUPATEN BULUNGAN ini dengan URL http://putrakelubir.blogspot.com/2010/09/sungai-kayan-di-kabupaten-bulungan.html, Anda boleh share, jika Artikel SUNGAI KAYAN DI KABUPATEN BULUNGAN ini bermanfaat, Namun jangan lupa Link SUNGAI KAYAN DI KABUPATEN BULUNGAN sebagai Sumbernya.
Rating Artikel : 5 ★★★★★ - Jumlah Voting : 5758 Orang