Serupa dengan lumba-lumba, duyung termasuk hewan mamalia. Induk menyusui anaknya. Perbedaan lainnya dengan lumba-lumba, secara anatomi, duyung lebih mirip gajah, tidak memakan ikan karena termasuk jenis mamalia herbivora, yang memakan rumput laut di padang lamun.
Dugong mempunyai ekor yang mirip dengan sirip ekor ikan paus, serta mempunyai bentuk kepala yang unik. Bentuk mulutnya bundar sehingga membuat dugong mudah mencari makan dengan cara menyapu permukaan laut. Mamalia ini termasuk dalam ordo sirenia, family dugongidae, dan genus dugong. Selain lucu, dugong juga memiliki badan yang cukup besar seperti kapal selam dengan panjang badan dewasa sekitar 2,5 - 3 meter dengan berat 225 - 450 kilogram. Dugong memiliki kulit abu-abu agak kebiruan dengan ketebalan sekitar 1 inchi dan licin.
Hingga saat ini, duyung mudah ditemukan di Madagaskar dan Afrika Timur melalui India sampai ke Australia. Tidak ada ilmuan yang dapat memastikan jumlah duyung yang masih bertahan di Indonesia. Hanya perkiraan antara angka 1.000 sampai 10 ribu ekor. Tapi ilmuan meyakini jumlah ini menurun drastis beberapa tahun terakhir.
Khusus di Kalimatan, diketahui ada lima lokasi ditemukannya duyung, yakni Teluk Balikpapan, Kota Waringin, Pulau Karimata, Teluk Kumai, dan Kepulauan Derawan. Pada tahun 1996, mamalia laut ini diumumkan telah punah di Kalimantan. Tapi empat tahun kemudian, binatang ini kembali ditemukan oleh Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) di Teluk Balikpapan dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Penurunan populasi duyung disebabkan banyaknya perburuan oleh manusia secara berlebihan untuk mendapatkan daging, dua pasang taringnya, serta bagian lainnya yang dapat dikomersilkan. Di samping itu pencemaran laut dan pengembangan usaha di pesisir dan daerah litoral yang menjadi sumber makanan dugong berada. Hal ini tidak sebanding dengan perkembangbiakan duyung yang lambat dan jumlah kelahiran yang terbatas. Fakta yang menyebabkan semakin berkurangnya populasi dugong.
Di Teluk Balikpapan, dugong pub terancam musnah. Ancaman utama akibat hilangnya padang lamun, yang merupakan pakan utama duyung. Lamun ini menghilang karena sedimentasi dan polusi kimia yang disebabkan munculnya perkebunan sawit, seperti perkebunan PT Agro Indomas di Kelurahan Pemaluan dan Sepaku (Kabupaten Penajam Paser Utara).
“Perusahan ini telah menanam sawit di sepanjang pesisir, tepian sungai, dan anak sungai. Secara hukum jelas tindakan ini ilegal, sebab mereka menanam sawit di zona penyangga,“ ungkap Stanislav Lhota, peneliti dari Departemen Zoologi Universitas South Bohemia Republik Cechnya yang mengabdikan sebagian hidupnya untuk menjaga kelestarian hewan yang terancam punah di Teluk Balikpapan.
Pembukaan perkebunan sawit ini berdampak pada perubahan kondisi air di Sungai Sepaku dan Pemaluan. Perubahan warna air dari cokelat kehijauan menjadi kuning juga dapat dilihat dari citra satelit. Di sisi lain, perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kayu akasia oleh PT ITCI Hutani Manunggal di Ulu Sungai Pemaluan dan Sepaku, juga dianggap sebagai sumber limbah herbisida yang dapat meracuni air. Tak hanya berbahaya bagi manusia, tetapi juga bagi padang lamun yang begitu penting bagi duyung.
Sementara sumber sedimen dan polutan kimia yang juga terjadi di padang lamun juga disebabkan pengembangan kawasan industri di sepanjang pesisir Kariangau. Merkuri dari limbah industri tidak hanya menumpuk di ikan yang dimakan masyarakat, tetapi juga di rumput laut yang dimakan dugong.
Pembangunan dua pabrik CPO (crude palm oil) di luar Kawasan Industri Kariangau, yakni, PT Dermaga Kencana Indonesia di kawasan lindung dan PT Mekar Bumi Andalas di kawasan mangrove, dipastikan menyebabkan Balikpapan tidak lagi memiliki pesisir yang sehat. Bencana semakin lebih besar, karena banyak tambang batu bara yang dibuka di sepanjang Teluk Balikpapan, khususnya di Kabupaten PPU. Perusahaan besar seperti PT Sing-Lurus Pratama, diketahui terletak sangat dekat dengan habitat duyung dan merupakan sumber polutan yang sangat signifikan.
Keberadaan duyung juga terancam oleh lalu lintas kapal, pembuangan oli, pengecatan kapal, dan pembersihan kapal ketika berada di pelabuhan. Semua aktivitas manusia ini merupakan sumber polutan yang dapat memusnahkan rumput laut dan menyebabkan keracunan duyung. “Kebisingan mesin kapal sangat mengganggu duyung. Ini menyebabkan mereka mencari makanan ke daerah-daerah yang lebih jauh,“ terangnya.
Bagi masyarakat Balikpapan dan sekitarnya yang ingin melihat duyung secara langsung di habitatnya, maka direkomendasikan untuk mendatangi kawasan Muara Sungai Tempadung. Meski kemungkinan untuk melihat mamalia ini sangat kecil. Tetapi Stanislav menyatakan, pembangunan pabrik CPO oleh PT Dermaga Kencana Indonesia di kawasan tersebut akan menyebabkan duyung akan dipaksa meninggalkan sumber makanan di kawasan tersebut.
“Padahal duyung ini tidak lagi memiliki sumber makanan lagi selain di kawasan tersebut. Logikanya, pasti akan punah,“ bebernya. Tapi ancaman terbesar bagi dugong tidak hanya disebabkan faktor yang telah diuraikan di atas. Masih ada faktor lainnya yang paling fatal, yakni pembangunan Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung sepanjang pesisir Teluk Balikpapan. Pembangunan yang diyakininya akan menyebabkan perambahan besar-besaran dan mengakibatkan deforestasi serta degradasi ekosistem.
“Pembangunan ini akan mengancam integritas ekologi seluruh Teluk Balikpapan, bukan hanya habitat duyung, tapi juga ekosistem lainnya yang hidup di Teluk Balikpapan,“ ucapnya.
Sumber: Kaltim Post
Berkaitan dengan DUYUNG MASIH HIDUP DI TELUK BALIKPAPAN:
Kamu lagi baca Artikel
DUYUNG MASIH HIDUP DI TELUK BALIKPAPAN %20 dan Kamu bisa menemukan postingan DUYUNG MASIH HIDUP DI TELUK BALIKPAPAN ini dengan URL https://putrakelubir.blogspot.com/2010/11/duyung-masih-hidup-di-teluk-balikpapan.html, Anda boleh share, jika Artikel DUYUNG MASIH HIDUP DI TELUK BALIKPAPAN ini bermanfaat, Namun jangan lupa Link DUYUNG MASIH HIDUP DI TELUK BALIKPAPAN sebagai Sumbernya.
Rating Artikel : 5 ★★★★★ - Jumlah Voting : 5758 Orang