Umur Alexander baru dua puluh tahun tatkala ayahnya mati tetapi tanpa kesulitan dia menggantikan naik tahta. Philip dengan cermat jauhjauh hari sudah melakukan persiapan untuk penggantinya dan si Alexander muda sudah punya pengetahuan dan pengalaman kemiliteran yang lumayan. Dalam hal pendidikan intelektual pun Philip tidak mengabaikannya. Guru buat Alexander disediakan ayahnya seorang yang istimewa: Aristoteles, seorang yang mungkin paling cendikiawan dan filosof yang paling termasyhur di dunia masa itu.
Baik di Yunani maupun daerah-daerah belahan sebelah utara, penduduk yang ditaklukkan Philip memandang kematian Philip merupakan kesempatan bagus untuk menghalau dan menumbangkan kekuasaan cengkeraman Macedonia. Tetapi, hanya dalam tempo dua tahun sesudah naik tahta, Alexander sudah mampu mengatasi kedua daerah itu. Sesudah itu perhatian dialihkan ke Persia.
Selama dua ribu tahun bangsa Persia menguasai wilayah yang amat luas, membentang mulai dari Laut Tengah hingga India. Kendati Persia tidak lagi berada dalam puncak kehebatannya, namun masih tetap merupakan lawan yang tangguh dan disegani, kekaisaran yang paling luas, paling kuat dan paling kaya di muka bumi.
Alexander melancarkan serangan pertamanya ke Persia tahun 334 SM. Karena dia harus menyisihkan sebagian pasukannya di dalam negeri untuk memelihara dan mengawasi inilik Eropanya, Alexander cuma punya 35 000 tentara yang menyertainya tatkala dia melakukan petualangan berani matinya, suatu jumlah kecil tak berarti jika dibandingkan dengan kekuatan Angkatan Bersenjata Persia. Di samping sejumlah kemalangan yang menimpanya, Alexander memenangkan serentetan kemenangan dalam gempurannya terhadap pasukan Persia. Ada tiga faktor yang menjadi sebab kemenangannya. Pertama, pasukan yang ditinggalkan ayahandanya, Philip, betul-betul terlatih dan terorganisir baik, lebih baik dari pasukan Persia. Kedua, Alexander sendiri seorang panglima perang yang genius, mungkin paling genius di sepanjang jaman. Ketiga, keberanian Alexander sendiri. Meskipun dia memimpin tahap-tahap pertama pertempuran belakang garis front, keputusan Alexander adalah memimpin sendiri pasukan berkuda yang memberi pukulan menentukan. Ini merupakan cara yang penuh resiko dan dia sering terluka dalam pertempuran macam begini. Tetapi pasukannya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Alexander betul-betul tidak kepalang tanggung menghadapi bahaya dan tak mau membebankan risiko pada pundak orang lain. Hal ini membawa akibat langsung dalam hal peningkatan moral prajurit yang meyakinkan.
Pertama Alexander memimpin pasukannya menerjang Asia Kecil, menghajar habis pasukan kecil Persia yang ditempatkan di situ. Kemudian dia bergerak menuju utara Suriah, menggilas pasukan besar Persia di kota Issus. Rampung ini dia balik badan menyerbu arah selatan, dan sesudah terlibat pertempuran berat dan sulit sepanjang tujuh bulan, dia berhasil menaklukkan kota pulau Phoenicia Tyre yang kini bernama Libanon. Tatkala Alexander sedang bertempur di Tyre, dia terima pesan dari Raja Persia mengwarkan separo kerajaannya buat Alexander asal saja Alexander bersedia menyetujui perjanjian perdamaian. Salah seorang jendral Alexander, Parmenio, mengganggap tawaran bagus dan layak diterima. "Jika aku Alexander, tawaran itu kuterima." Apa jawab Alexander? "Begitu pula aku, andaikata aku ini bernama Parmenio."
Sesudah Tyre jatuh, Alexander meneruskan gerakannya ke selatan. Gaza jatuh sesudah bertempur selama dua bulan. Mesir menyerah tanpa pertempuran apa pun. Sesudah menduduki Mesir, Alexander menetap sebentar sekedar memberi waktu istirahat bagi prajurit-prajuritnya. Di negeri itu, kendati umurnya baru dua puluh empat tahun, dia diberi anugerah gelar Firaun dan dinobatkan sebagai dewa. Sesudah dirasa cukup istirahat, Alexander dan pasukannya bergerak lagi kembali ke daratan Asia, dan dalam pertempuran hidup-mati yang menentukan di Arbela tahun 331 SM, dia sepenuhnya sudah melumpuhkan sebagian terbesar balatentara Persia.
Sesudah kemenangan gemilang itu Alexander memboyong tentaranya ke Babylon dan menerobos masuk ke kota-kota Persia, Suso dan Persepolis. Raja Persia Darius III (bukannya pendahulunya Darius Yang Agung) dibunuh oleh opsir-opsirnya di tahun 330 SM untuk mencegahnya menyerah kepada Alexander. Walau begitu, Alexander mengalahkan dan membunuh pengganti Darius, dan dalam pertempuran selama tiga tahun, dia sudah menaklukkan semua belahan timur negeri Iran dan mendesak terus ke Asia Tengah.
Dengan segenap Kekaisaran Persia berada di bawah tclapak kakinya, Alexander selayaknya ambil keputusan kembali pulang ke negerinya dan mengorganisir daerah kekuasaannya. Tetapi, haus penaklukannya tak tertahankan lagi, karena itu dia meneruskan labrakannya ke Afganistan. Dari situ dia pimpin tentaranya melintasi pegunungan Hindu Kush menuju India. Dia peroleh serentetan kemenangan besar di bagian barat India dan bermaksud melanjutkan serangannya ke bagian timur India. Tetapi, pasukannya sudah lelah dan ngos-ngosan akibat bertempur bertahun-tahun, dan menolak meneruskan penyerbuan. Maka dengan ogah-ogahan Alexander kembali ke Persia.
Sesudah kembali ke Persia, Alexander menghabiskan waktu sekitar setahun mengorganisir tentara dan wilayah kekaisaran yang dikuasainya. Alexander dibesarkan bersama keyakinan bahwa kebudayaan Yunani adalah satu-satunya kebudayaan yang unggul dan jempol dan semua bangsa yang bukan Yunani tak lain tak bukan adalah bangsa barbar. Keyakinan itu sudah barangtentu tersebar meluas di seluruh alam pikiran dan dunia Yunani, bahkan Aristoteles sendiri berpendapat begitu. Tetapi, lepas dari keberhasilannya menumpas habis tentara Persia, Alexander sadar bangsa Persia samasekali bukan bangsa barbar, dan orang-orang Persia bisa saja sama mampu dan sama pandai dengan orang Yunani. Oleh karena itu Alexander mengandung niat untuk menggabung kedua kekaisaran itu jadi satu, dan dijelmakannya dengan pembentukan gabungan budaya dari kerajaan Graeco-Persia dengan dia sendiri tentu saja berada di atas tampuk pimpinan penguasa. Sejauh yang dapat kita pastikan, dia betul-betul berkehendak agar bangsa Persia merupakan partner sederajat dengan bangsa Yunani dan Macedonia. Dalam rangka melaksanakan rencana ini, dia memasukkan banyak sekali orang Persia ke dalam Angkatan Bersenjatanya. Dia juga mengadakan pesta apa yang disebutnya "Perkawinan Barat dan Timur" di mana ribuan tentara Macedonia secara resmi mengawini puteri-puteri Asia. Dia sendiri, walaupun sudah mempersunting istri seorang gadis bangsawan Asia sebelumnya, kawin lagi dengan puteri Darius.
Gamblang sekali, Alexander bermaksud melakukan tambahan penaklukan dengan Angkatan Bersenjata yang sudah diorganisir kembali ini. Kita tahu, dia bennaksud menaklukkan Arabia, dan mungkin juga wilayahwilayah yang terletak di belahan utara Persia. Dan mungkin dia sudah punya rencana menduduki India atau menyerbu Roma, Carthago dan bagian-bagian Laut Tengah. Betapapun rencana itu sudah tersusun, yang jelas tak ada penaklukan-penaklukan berikutnya lagi. Di awal bulan Juni tahun 323 SM tatkala Alexander berada di Babylon, tiba-tiba dia terserang demam dan dia meninggal dunia sepuluh hari kemudian. Saat itu umurnya belum lagi mencapai tiga puluh tiga tahun.
Alexander tidak menunjuk penggantinya, dan segera sesudah dia tiada mulailah terjadi perebutan kekuasaan. Dalam pergumulan ini, bundanya, istrinya, anak-anaknya semuanya terbunuh. Kerajaannya dibagi diantara para jendralnya.
Karena Alexander mati dalam usia amat muda dan tak pernah terkalahkan, banyak spekulasi apakah gerangan yang akan terjadi andaikata usianya panjang. Apabila dia membawa pasukannya menyerbu dan menaklukkan daerah-daerah sebelah barat Laut Tengah, besar kemungkinan dia akan berhasil, dan dalam hal ini seluruh sejarah Eropah Barat akan mengalami perubahan besar-besaran. Tetapi spekulasi ini-betapapun menariknya tak ada hubungannya dengan sukses-sukses sesungguhnya yang sudah dicapainya.
Daerah Kekaisaran Alexander Yang Agung
Alexander mungkin seorang tokoh yang teramat dramatis dalam sejarah, karier dan pribadinya tetap jadi sumber kekaguman. Bukti-bukti kesuksesan kariernya cukup dramatis dan berlusin dongeng bermunculan menyangkut namanya. Dan jelas sekali sudah menjadi ambisinya menjadi pendekar dan penakluk terbesar sepanjang jaman, dan tampaknya memang layak dia peroleh julukan itu. Selaku pejuang individual, pada dirinya tercakup kemampuan dan keberanian. Sebagai seorang jenderal, dia teramat ulung, karena selama sebelas tahun pertempuran, tak pernah barang sekali pun dia kalah.
Berbarengan dengan itu, dia seorang intelektual yang belajar di bawah asuhan Aristoteles dan menguasai sajak-sajak Homer. Dalam hal merealisir gagasan bahwa bangsa yang bukan Yunani tidaklah mesti bangsa barbar, jelas menunjukkan bahwa pikirannya punya daya jangkau lebih jauh ketimbang sebagian besar pemikir-pemikir Yunani saat itu.
Tetapi, di lain pihak Alexander punya pandangan cupet. Meski berulang kali dia menghadapi risiko dalam pertempuran, dia tidak mempersiapkan penggantinya. Keteledoran inilah yang menjadi penyebab begitu cepatnya kerajaannya hancur berantakan sesudah dia tutup usia.
Alexander dianggap besar kemungkinan berwajah rupawan, dan dia sering amat bermurah hati kepada musuh yang dikalahkannya. Di lain pihak, dia juga seorang "egomaniac" dan bertabiat kejam. Pada suatu peristiwa, dalam suatu pertengkaran dalam keadaan slebor, dia membunuh teman akrabnya, Clertus, seorang yang pernah menyelamatkan jiwanya.
Seperti halnya Napoleon dan Hitler, Alexander punya pengaruh luar biasa terhadap generasinya. Masa pengaruhnya yang singkat, lebih ringkas dari mereka, semata-mata lantaran terbatasnya sarana untuk perjalanan kian-kemari serta komunikasi pada saat itu m_ embatasi dan memperkecil pengaruhnya terhadap dunia.
Dalam jangka panjang, pengaruh terpenting dari penaklukan yang dilakukan Alexander adalah mendekatkan kebudayaan Yunani dengan Timur Tengah, sehingga masing-masing mendapat faedah untuk menambah dan mempertinggi kebudayaan masing-masing. Selama dan segera sesudah karier Alexander, kebudayaan Yunani dengan cepat tersebar ke Iran, Mesopotamia, Suriah, Yudea, dan Mesir. Sebelum Alexander, kebudayaan Yunani memang sudah merasuk ke daerah-daerah ini tetapi
dengan lambat sekali. Juga, Alexander menyebarkan pengaruh kebudayaan Yunani ke India dan Asia Tengah, daerah yang belum terjamah sebelumnya. Tetapi, pengaruh kultural bukanlah berarti hanya berlaku sepihak dan satu jurusan. Dalam masa abad Hellenistik (abad-abad segera sesudah langkah-langkah Alexander) gagasan-gagasan Timur-khususnya gagasan keagamaan-tersebar ke dunia Yunani. Dengan kebudayaan Hellenistik ini memang tampaknya Yunani dominan tetapi sebenarnya pengaruh pikiran Timur besar sekali pada saat itu mempengaruhi Roma.
Dalam jangka perjalanan kariernya, Alexander mendirikan lebih dari dua puluh satu kota baru. Yang paling masyhur dari semua itu adalah Alexandria (Iskandariah) di Mesir yang dalam tempo cepat menjadi kota terkemuka di dunia dan merupakan pusat budaya dan pendidikan yang kesohor. Lain-lainnya seperti Herat dan Kandahan di Afganistan juga berkembang jadi kota-kota penting.
Alexander, Napoleon, dan Hitler rasanya punya persamaan dalam bobot pengaruhnya secara umum. Orang akan berkesan, bagaimanapun juga, pengaruh kedua orang yang disebut belakangan daya tahannya lebih pendek ketimbang Alexander. Atas dasar itulah dia dapat tempat urutan sedikit lebih atas.