Pada waktu itu aku memutar lagunya Ria Amelia album 12 Pop Minang Legendaris. Sambil baring-baring, aku perhatikan video lagu tersebut. Pada lagu yang berjudul Cinto Jan Dibali, aku melihat sebuah bangunan lama yang membuatku tertarik dan aku ingin mengetahui sejarah bangunan tersebut. Bangunan itu adalah Jam Gadang yang ada di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Mulailah aku berselancar di dunia maya. aku cari situs-situs yang berisi sejarah Jam Gadang. Dan akhirnya aku mendapatkannya.
Sejarah Jam Gadang
“Jam Gadang adalah sebutan bagi sebuah menara jam yang terletak di jantung Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat. Jam Gadang adalah sebutan yang diberikan masyarakat Minangkabau kepada bangunan menara jam itu, karena memang menara itu mempunyai jam yang “gadang“, atau “jam yang besar” (jam gadang=jam besar; “gadang” berarti besar dalam bahasa Minangkabau).
Sedemikian fenomenalnya bangunan menara jam bernama Jam Gadang itu pada waktu dibangun, sehingga sejak berdirinya Jam Gadang telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang dijadikan penanda atau markah tanah Kota Bukittinggi dan juga sebagai salah satu ikon provinsi Sumatera Barat.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dulu. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun.
Denah dasar (bangunan tapak berikut tangga yang menghadap ke arah Pasar Atas) dari Jam Gadang ini adalah 13×4 meter, sedangkan tingginya 26 meter.
Jam Gadang ini bergerak secara mekanik dan terdiri dari empat buah jam/empat muka jam yang menghadap ke empat arah penjuru mata angin dengan setiap muka jam berdiameter 80 cm.
Menara jam ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk pada bagian puncaknya. Pada awalnya puncak menara jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Saat masuk menjajah Indonesia, pemerintahan pendudukan Jepang mengubah puncak itu menjadi berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.
Pembangunan Jam Gadang ini konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Namun hal itu terbayar dengan terkenalnya Jam Gadang ini sebagai markah tanah yang sekaligus menjadi lambang atau ikon Kota Bukittinggi. Jam Gadang juga ditetapkan sebagai titik nol Kota Bukittinggi.
Ada satu keunikan dari angka-angka Romawi pada muka Jam Gadang ini. Bila penulisan angka Romawi biasanya mencantumkan simbol “IV” untuk melambangkan angka empat romawi, maka Jam Gadang ini bertuliskan angka empat romawi dengan simbol “IIII” (umumnya IV).”
Setelah membaca artikel tersebut, muncullah tanda tanya besar dalam hatiku. "Mengapa angka romawi "IV" diganti dengan "IIII"?... Ada apa di balik angka "IIII". Misteri apa yang tersembunyi di situ (angka IIII)?... Mulailah lagi aku berselancar di dunia maya. Petualanganku akhirnya terhenti di sebuah situs yang ternyata artikelnya adalah jawaban dari pertanyaanku tadi. Ini dia jawabannya. Klik disini untuk mengetahui mengapa angka IV pada jam gadang menggunakan angka IIII.
Jam Gadang masa sekarang
Berkaitan dengan JAM GADANG BUKITTINGGI:
Kamu lagi baca Artikel
JAM GADANG BUKITTINGGI %20 dan Kamu bisa menemukan postingan JAM GADANG BUKITTINGGI ini dengan URL http://putrakelubir.blogspot.com/2010/09/jam-gadang-bukittinggi.html, Anda boleh share, jika Artikel JAM GADANG BUKITTINGGI ini bermanfaat, Namun jangan lupa Link JAM GADANG BUKITTINGGI sebagai Sumbernya.
Rating Artikel : 5 ★★★★★ - Jumlah Voting : 5758 Orang